Rabu, 20 Januari 2016

CONTOH SURAT KONTRAK PERJANJIAN PEMBANGUNAN

Contoh Surat Kontrak Perjanjian Pembangunan – Mencari contoh surat perjanjian kontrak pembangunan pekerjaan borongan? Dalam Artikel ini terdapat contoh surat perjanjian tentang pelaksanaan pekerjaan yang bisa dikembangkan menjadi, contoh:
– Surat Perjanjian pekerjaan borongan
– Surat Perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan
– Surat Perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan pabrik
– Surat Perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan proyek
– Surat Perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan rumah tinggal
Surat perjanjian ini bukanlah contoh yang sempurna. Anda bisa memodifikasinya sesuai situasi dan kondisi dilapangan.

SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL
Bogor, kamis tanggal 21 bulan juni tahun 2012, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Mujiono
Alamat :Jl. Contoh Surat Resmi No. 99, Cibinong Bogor
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
No KTP : 0123456789
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemilik Rumah disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
Nama : Sulamun
Jabatan : Direktur CV
Alamat : Jl. Contoh Surat Perjanjian No. 214, Cibinong Bogor
No KTP : 9876543210
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama CV. Sukasenang Jaya selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
Berdasarkan Penawaran Harga Surat dari CV. Sukasenang Jaya
Nomor : 3128
Tanggal : 20 Juni 2012
Kedua belah pihak dengan ini menyatakan telah setuju dan sepakat untuk mengikat diri dalam suatu perjanjian dalam bidang pelaksanaan Pembangunan Rumah Tinggal dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal tersebut dibawah ini :

Pasal 1
TUGAS PEKERJAAN
(1) PIHAK PERTAMA memberikan tugas kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima tugas tersebut, yaitu untuk melaksanakan Pembangunan Rumah Tinggal Beralamat Jl. Surat Kuasa No. 339, Cibinong Bogor
(2) Lingkup Pekerjaan secara terperinci adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan ini.

Pasal 2
DASAR PELAKSANAAN PEKERJAAN
Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, harus dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA sesuai dengan :
a. Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS)
b. Petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA baik secara lisan maupun tulisan.

Pasal 3
JANGKA WAKTU PELAKSANAAN DAN MASA PEMELIHARAAN
(1) Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan ditetapkan selama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak dikeluarkannya Surat Perintah Mulai Kerja tanggal 22 juni 2012 dan harus sudah selesai dan diserahkan paling lambat tanggal 25 juni 2012
(2) Waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas, tidak dapat diubah oleh PIHAK KEDUA, kecuali adanya keadaan memaksa sebagaimana telah diatur dalam perjanjian ini.
(3) Masa Pemeliharaan adalah 30 (tiga puluh) hari kalender, terhitung mulai serah terima Pertama pekerjaan dimaksud.

Pasal 4
SUB KONTRAKTOR
(1) Apabila suatu bagian pekerjaan akan diserahkan kepada suatu sub kontraktor, maka PIHAK KEDUA harus memberitahukan secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA, hubungan antara PIHAK KEDUA dengan sub kontraktor menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA
(2) Jika ternyata PIHAK KEDUA telah menyerahkan pekerjaan kepada sub kontraktor tanpa persetujuan pengawas, maka setelah pengawas memberikan peringatan tertulis kepada PIHAK KEDUA, PIHAK KEDUA harus mengembalikan keadaan sehingga sesuai dengan isi surat perjanjian ini, semua biaya yang dikeluarkan oleh PIHAK KEDUA atau sub kontraktor untukpekerjaan yang dilakukan oleh sub kontraktor itu, ditanggung oleh PIHAK KEDUA sendiri.
(3) Untuk bagian-bagian pekerjaan yang diserahkan kepada sub kontraktor atas sepengetahuan PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA harus melakukan koordinasi yang baik, serta penuh tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh sub kontraktor, serta melakukan pengawasan bersama-sama pengawas.

Pasal 5
JAMINAN PELAKSANAAN
(1) Pemborong yang ditunjuk sebagai pemenang lelang sebelum menandatangani kontrak diwajibkan memberikan jaminan pelaksanaan sebesar 5 % dari nilai kontrak yaitu Rp. 100.000.000,-(seratus juta rupiah).
(2) Pada saat Jaminan Pelaksanaan diterima, maka jaminan penawaran akan dikembalikan.
(3) Jaminan Pelaksanaan menjadi milik PEMILIK RUMAH apabila ;
– Dalam hal pemenang lelang dalam waktu yang telah ditetapkan tidak melaksanakan pekerjaan/penyerahan barang
– Dalam hal pemenang lelang mengundurkan diri setelah menandatangani kontrak.

Pasal 6
HARGA BORONGAN
(1) Jumlah harga borongan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 perjanjian ini adalah sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) termasuk pajak–pajak yang dibebankan kepada PEMILIK RUMAH dan merupakan jumlah yang tetap dan pasti (lumpsum fixed price).
(2) Dalam jumlah harga borongan tersebut pada ayat (1) di atas, sudah termasuk pajak-pajak dan biaya-biaya lainnya yang harus dibayarkan PIHAK KEDUA sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 7
CARA PEMBAYARAN
a) Uang muka kerja sebesar 20 % dari nilai Kontrak yaitu sebesar :
20 % x Rp. 100.000.000,- = Rp. 5.000.000,- setelah menyerahkan jaminan uang muka yang diberikan oleh Bank Umum atau Asuransi yang telah mendapatkan dukungan perusahaan Asuransi dalam dan luar negeri yang cukup bonafit.
b) Pembayaran Pertama sebesar 40 % dari nilai Kontrak dikurangi dengan angsuran pengembalian uang muka yang telah diambil, dibayarkan setelah fisik dilapangan mencapai 45% yang dibuktikan dengan Berita acara Pemeriksaan Lapangan dengan perincian :
Pembayaran Angsuran Pertama = 40% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 25.000.000,-
Potongan Uang Muka = 40% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 25.000.000,-,-
Jumlah Pembayaran Angsuran Pertama sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
c) Pembayaran Kedua sebesar 40 % dari nilai Kontrak dikurangi dengan angsuran pengembalian uang muka yang telah diambil, dibayarkan setelah fisik di lapangan mencapai 85% yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemeriksaan Lapangan dengan perincian :
Pembayaran Angsuran Pertama = 40% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
Potongan Uang Muka = 40% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
Jumlah Pembayaran Angsuran Kedua sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)
d) Pembayaran Ketiga sebesar 15 % dari nilai Kontrak dikurangi dengan angsuran pengembalian uang muka yang telah diambil, dibayarkan setelah fisik dilapangan mencapai 100% yang dibuktikan dengan Berita acara Pemeriksaan Lapangan dengan perincian :
Pembayaran Angsuran Ketiga = 15% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 12.000.000,-
Potongan Uang Muka = 20% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 12.500.000,-
Jumlah Pembayaran Angsuran Ketiga Rp. 23.500.000 (dua puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah)
e) Pembayaran Terakhir sebesar 5 % dari nilai Kontrak yaitu sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dibayarkan setelah berakhirnya masa pemeliharaan dan telah diadakan serah terima pekerjaan tersebut kepada PIHAK PERTAMA yang dibuktikan dengan Berita Acara Penyerahan Kedua untuk Pekerjaan dimaksud dengan catatan :
1) Pembayaran dapat dilakukan dalam beberapa termin/angsuran sesuai dengan kebutuhan kondisi ;
2) Perincian pembayaran tiap termin/angsuran diperhitungkan nilai kontrak dikurangi besarnya uang muka

Pasal 8
PENYERAHAN PEKERJAAN
(1) Sebelum pekerjaan diserahkan kepada PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA berkewajiban untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada PIHAK PERTAMA.
(2) Penyerahan pekerjaan harus dilakukan dan dinyatakan dalam Berita Acara Penyerahan Pekerjaan, apabila PIHAK KEDUA sudah menyelesaikan seluruh pekerjaan (selesai 100 %) sesuai persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalam spesifikasi teknis.

Pasal 9
DENDA-DENDA DAN SANKSI-SANKSI
Keterlambatan penyelesaian/penyerahan pekerjaan dari jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Perjanjian ini, akan dikenakan denda/sanksi sebesar 1 ‰ (satu permil) untuk setiap hari keterlambatan dengan maksimum 5 % (lima persen) dari jumlah harga borongan.

PASAL 10
KENAIKAN HARGA DAN FORCE MAJEURE
a) Semua kenaikan harga borongan dan lain-lainnya, selama pelaksanaan pekerjaan ini, ditanggung sepenuhnya oleh PIHAK KEDUA
b) Hal-hal yang termasuk Force Majeure dalam kontrak ini adalah :
– Bencana Alam (gempa bumi, banjir, gunung meletus, longsor, kebakaran, huru-hara, peperangan, pemberontakan dan epidemi).
– Kebijakan Pemerintah yang dapat mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan/penyelesaian pekerjaan.
c) Apabila terjadi Force Majeure, PIHAK KEDUA harus memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA secara tertulis, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari sejak terjadinya Force Majeure disertai bukti yang sah, demikian juga pada waktu Force Majeure berakhir.
d) Keterlambatan karena Force Majeure tidak dikenakan denda.

Pasal 11
PEKERJAAN TAMBAH KURANG
(1) Semua pekerjaan tambah atau kurang harus dikerjakan atas perintah dan tertulis dari PIHAK PERTAMA.
(2) Pekerjaan tambah atau kurang yang dikerjakan PIHAK KEDUA tanpa seizin PIHAK PERTAMA, akibatnya harus ditanggung PIHAK KEDUA.

Pasal 12
PEMBATALAN PERJANJIAN
1) PIHAK PERTAMA berhak membatalkan/memutuskan perjanjian ini secara sepihak dengan pemberitahuan tertulis tiga hari sebelumnya, setelah memberikan peringatan/teguran tiga kali berurutturut dan PIHAK KEDUA tidak mengindahkan peringatan tersebut ;
2) Pembatalan/pemutusan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dilakukan apabila PIHAK KEDUA melakukan hal-hal sebagai berikut :
– Memberikan keterangan tidak benar yang merugikan atau dapat merugikan PIHAK PERTAMA.
– Tidak dapat melaksanakan/melanjutan pekerjaan.
– Memborongkan sebagian atau seluruh pekerjaan kepada PIHAK KETIGA tanpa persetujuan PIHAK PERTAMA.
– Apabila jumlah denda keterlambatan telah mencapai maksimum 5 % dari jumlah harga borongan ini.
3) Jika terjadi pembatalan/pemutusan perjanjian secara sepihak oleh PIHAK PERTAMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut di atas, maka PIHAK PERTAMA dapat menunjuk pemborong lain untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dan PIHAK KEDUA harus menyerahkan kepada PIHAK PERTAMA segala dokumen yang berhubungan dengan Perjanjian ini.

Pasal 13
BEA MATERAI DAN PAJAK-PAJAK
Bea materai dan pajak-pajak yang timbul akibat dari perjanjian ini seluruhnya dibebankan kepada PIHAK KEDUA, dilunasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 14
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
(1) Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah.
(2) Apabila musyawarah tidak tercapai, maka penyelesaian terakhir diserahkan kepada putusan Pengadilan Negeri yang dalam hal ini kedua belah pihak memilih domisili tetap di Kantor Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 15
HAK DAN KEWAJIBAN
(1) PIHAK KEDUA berkewajiban menjaga lingkungan agar tidak terjadi gangguan terhadap lingkungan hidup sebagai akibat dari kegiatan PIHAK KEDUA.
(2) PIHAK PERTAMA berhak memerintahkan kepada PIHAK KEDUA mengeluarkan dari tempat pekerjaan sebagian atau seluruh bahan yang tidak lagi memenuhi spesifikasi teknik.
(3) PIHAK KEDUA bertanggung jawab terhadap barang milik Daerah yang dipinjamkan dan/atau diserahkan kepada PIHAK KEDUA meliputi pemeliharaan, menjaga kondisi, perbaikan atau kerusakan, penggantian atas milik Daerah tersebut.

Pasal 16
KESELAMATAN KERJA
(1) Selama pelaksanaan pekerjaan, PIHAK KEDUA wajib memperhatikan tanggung jawab atas keselamatan kerja, baik di lingkungan pekerjaan maupun keamanan umum dan ketertiban di tempat kerja.
(2) PIHAK KEDUA berkewajiban mengasuransikan tenaga kerja borongan/harian lepas, yang dipekerjakan untuk paket pekerjaan ini.
(3) PIHAK KEDUA berkewajiban membayar asuransi bagi tenaga kerja borongan/harian lepas, yang dipekerjakan untuk paket pekerjaan ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 17
LAIN – LAIN
Segala sesuatu yang belum diatur dalam Surat Perjanjian ini atau perubahan yang dipandang perlu oleh kedua belah pihak akan diatur lebih lanjut dalam Surat Perjanjian Tambahan (Addendum) dan merupakan perjanjian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.

PASAL 18
KETENTUAN PENUTUP
(1) Dengan telah ditanda tangani Perjanjian ini oleh kedua belah pihak pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut diatas, maka seluruh ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal dan lampiranlampiran perjajian ini mempunyai kekuatan hukum mengikat kedua belah pihak sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
(2) Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 6 (enam) bermaterai cukup masing-masing untuk PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA serta masing-masing rangkap mempunyai kekuatan hukum yang sama dan dinyatakan berlaku sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai Kerja.

CONTOH SURAT KONTRAK PERJANJIAN PEMBANGUNAN (Form Kosong)

KONTRAK
PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL
antara
  1. Maju jaya
dengan
…………………………………………………
_________________________________________________________________
Nomor : …………………….
Tanggal : …………………….
Pada hari ini ………, tanggal ……………kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama CV. Maju jaya dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
dan
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama Pemilik atau Kuasa Pemilik dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan Kontrak Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang dimiliki oleh Pihak Kedua yang terletak di ……………………………………………………………………………………
Pihak Pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan, yang pembiayaannya ditanggung oleh Pihak Kedua, dengan ketentuan yang disebutkan dalam pasal pasal sebagai berikut :
Pasal 1
Tujuan Kontrak
Tujuan kontrak ini adalah bahwa Pihak Pertama melaksanakan dan, menyelesaikan pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang berlokasi tersebut diatas.
Pasal 2
Bentuk Pekerjaan
Bentuk pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh Pihak Pertama adalah sebagai berikut :
  1. Pekerjaan Perencanaan ( gambar kerja, spesifikasi material dan bahan, serta time schedule proyek ).
Terlampir Timeschedule Perencanaan no. bp/071009/2007, tertanggal 09 oktober 2007
  1. Pekerjaan Bangunan( pelaksanaan konstruksi bangunan, sesuai dengan spesifikasi material dan bahan yang akan dilampirkan oleh pihak pertama pada saat Pekerjaan Perencanaan selesai, dan telah disetujui oleh pihak kedua )


Pasal 3
Sistem Pekerjaan
Sistem pekerjaan yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah sebagai berikut :
  1. Pihak kedua menggunakan system penunjukan langsung dengan memberikan anggaran biaya ( budget ).
Pihak Kedua memberikan anggaran biaya kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
  1. Anggaran Biaya sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ) termasuk rincian :
  2. Pekerjaan Perencanaan
  3. Pekerjaan Bangunan
Dan tidak termasuk :
  1. Pajak – pajak yang di timbulkan atas pelaksanaan pembangunan termasuk : Pajak kontraktor, pajak pribadi, pajak membangun sendiri dan lain-lain.
  2. IMB ( Ijin mendirikan bangunan ) mulai dari tingkat klian banjar, lurah / kepala desa, camat dan pihak ciptakarya badung.
  3. Pihak pertama berhak menentukan luasan ruang bangunan, spesifikasi bahan dan material bangunan, dan bentuk bangunan yang akan disesuaikan dengan anggaran biaya ( budget ) yang diberikan oleh pihak kedua.
Pasal 4
Biaya
Adapun biaya pembangunan rumah tinggal tersebut adalah Rp. 2.100.000.000( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
Pasal 5

Sistem Pembayaran

Pembayaran atas pekerjaan pembangunan tersebut diatas dilakukan dalam beberapa tahap yaitu :
Tanda Jadi :Tanda jadi sebesar Rp. 10.000.000 ( sepuluh juta rupiah ) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan perencanaan ( Pasal 2 ayat 1 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal……………………
Downpayment :Pembayaran 30 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 630.000.000(enam ratus tiga puluh juta rupiah) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan bangunan ( Pasal 2 ayat 2 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal ………..
Tahap I :Pembayaran 25 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 525.000.000 (lima ratus dua puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan dinding dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Tahap II :Pembayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan atap dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Tahap III :Pembayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan lantai dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Pelunasan :Pembayaran 5% x Rp 2.100.000.000 = Rp. 105.000.000 dikurangi tanda jadi Rp. 10.000.000 menjadi Rp. 95.000.000(sembilan puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan selesai.
yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Pembayaran tersebut harus dilakukan melalui transfer ke rekening :
Penerima : CV Maju jaya
Bank : ………………………………………………………………………………
No rekening : ………………………………………………………………………………


Pasal 6

Jangka Waktu Pengerjaan

Jangka waktu pengerjaan adalah ……………… bulan, terhitung setelah kontrak ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dan pembayaran tahap pertama diterima oleh Pihak Pertama pada tanggal ……………………………………………………….
Apabila terjadi keterlambatan pengerjaan pembangunan dari waktu yang telah ditentukan, maka Pihak Pertama wajib membayar denda kepada Pihak Kedua sebesar Rp. 10.000/hari. ( Sepuluh ribu rupiah perhari ).
Pasal 7
Perubahan
Apabila pada waktu pengerjaan pelaksanaan konstruksi terdapat perubahan perubahan terhadap luasan, posisi dan bentuk serta penambahan material bangunan, diluar dari perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah Pihak, maka Pihak Kedua wajib membayar setiap perubahan pembongkaran dan pemasangan kembali yakni sebesar Rp. 100.000/M2. ( seratus ribu rupiah permeter persegi )
Pasal 8

Masa Pemeliharaan

  1. Masa pemeliharaan berlaku selama 3 bulan, setelah selesai
pekerjaan/serah terima hasil pekerjaan yang diikuti dengan penandatanganan berita acara penyerahan bangunan.
  1. Apabila dalam masa pemeliharaan tersebut terdapat kerusakan yang disebabkan bukan dari pekerjaan Pihak Pertama, maka Pihak Kedua tidak berhak menuntut Pihak Pertama untuk mengerjakannya.
Namun, Pihak Pertama dapat memperbaiki kerusakan tersebut sesuai dengan formulir perubahan dengan biaya yang ditanggung oleh Pihak Kedua sebesar Rp. 100.000/M2 ( termasuk biaya upah tukang & material ).
Pasal 9
Lain – Lain
Pihak Pertama dan Pihak Kedua akan bersama- sama mematuhi dengan baik dan bertanggung jawab terhadap seluruh kesepakatan kerja yang telah disetujui.
Demikian Kontrak Kerja ini telah di setujui dan di tanda tangani untuk dilaksanakan dengan sebagai mana mestinya tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.
Pihak Pertama Pihak Kedua
…………………. ) (…………………… )

Isu Pembangunan Daerah dan Kebijakan Penataan Ruang

Prioritas nasional penyelenggaraan penataan ruang adalah pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah dengan sasaran terpadunya RTR dengan rencana pembangunan. Prioritas bidang penyelenggaraan penataan ruang terbagi atas 4 (empat) fukus yaitu : Penyelesaian peraturan perundangan sesuai dengan amanat UUPR Peningkatan kualitas produk rencana tata ruang Sinkronisasi program pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang Peningkatan kesesuaian pemanfaatan lahan dalam rencana tata ruang Penutup Kebijakan dan strategi bidang penataan ruang yang digariskan di dalam RPJMN 2010 – 2014 ditujukan untuk mengatasi beragam permasalahan dan tantangan di bidang penataan ruang. Program dan kegiatan yang menjadi prioritas pada tahun 2012 meliputi sinkronisasi rencana pembangunan dan rencana tata ruang, penyelesaian peraturan perundangan amanat UUPR, percepatan penyelesaian RTRW diberbagai tingkat administrasi pemerintahan dan implementasi pengawasan penataan ruang.
 
Presiden Republik Indonesia dalam sambutannya pada saat Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional baru-baru ini di Surabaya menegaskan beberapa isu strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yakni :
1. Terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya,
2. Belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor tadi,
3. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan,
4.   Belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam RTRWN,
5.  Belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sector dan wilayah dalam kerangka penataan ruang, serta
6. Kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan masingmasing secara berlebihan.
Senada dengan isu yang dikemukakan Presiden RI, Menko Perekonomian pada forum yang sama menyebutkan adanya 3 (tiga) isu utama dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yang meliputi :
a.    Konflik antar-sektor dan antar-wilayah,
b.    Degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata ruang, baik di darat, laut dan udara, serta
c.   Dukungan terhadap pengembangan wilayah belum optimal, seperti diindikasikan dari minimnya dukungan kebijakan sektor terhadap pengembangan kawasan-kawasan strategis nasional dalam RTRWN seperti kawasan perbatasan negara, kawasan andalan, dan KAPET.
Pada era otonomi daerah, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah praktek pembangunan yang kerap terjadi. Di Pulau Jawa misalnya, hutan lindungnya telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 ha/tahun (BPS,2001). Bahkan Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa 23% saja dari luas daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian seperti untuk industri, permukiman dan jasa di Pulau Jawa yang mencapai 1.002.005 ha atau 50.100 ha/tahun antara 1979 - 1999 (Deptan, 2001).
Contoh lainnya adalah penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar yang signifikan. Hutan tropis, misalnya, sebagai kawasan resapan air telah berkurang luasannya baik akibat kebakaran dan penjarahan/ penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa antara tahun 1997 - 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Dengan kerusakan hutan yang berfungsi lindung tersebut maka akan menimbulkan run-off yang besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang, serta meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada kawasan pesisir.
Selain itu kondisi satuan-satuan wilayah sungai di Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dari keseluruhan 89 SWS yang ada di Indonesia, hingga tahun 1984 saja telah terdapat 22 SWS berada dalam kondisi kritis. Pada tahun 1992, kondisi ini semakin meluas hingga menjadi 39 SWS. Perkembangan yang buruk terus meluas hingga tahun 1998, dimana 59 SWS di Indonesia telah berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh SWS di Pulau Jawa.4 (periksa Gambar 1 berikut). Seluruh SWS kritis tersebut selain mendatangkan bencana banjir pada musim hujan, sebaliknya juga menyebabkan kekeringan yang parah pada musim kemarau. Dari sisi ketahanan pangan, bilamana kecenderungan negatif dalam pengelolaan SWS tersebut terus berlanjut, maka produktivitas sentra-sentra pangan yang terletak di SWS-SWS potensial (seperti Citarum, Saddang, Brantas, dsb) akan terancam pula.
 
http://sitr.jatimprov.go.id/beranda/artikel/detail/1 
http://jembatan4.blogspot.co.id/2013/10/isu-strategis-penataan-ruang-di.html
https://kemalmenyimpang.wordpress.com/2015/11/28/kepentingan-ekonomi-dan-pelanggaran-tata-ruang/

KEPENTINGAN EKONOMI DAN PELANGGARAN TATA RUANG

Sewaktu penulis pertama kali masuk kuliah di program pasca sarjana perencanaan wilayah dan kota (planologi) di Insitut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ir Tommy Firman salah seorang pengajar menyatakan bahwa program harus menerima lebih banyak mahasiswa dari disiplin ilmu ekonomi. Alasannya supaya para perencana kota mengenal lebih dalam ilmu ekonomi. Dia menjelaskan bahwa para perencana kota yang kebanyakan dari disiplin ilmu arsitektur gagal membuat rencana kota yang ditaati dalam pelaksanaannya. Kebanyakan rencana kota yang dibuat oleh para arsitek, masih menurut Tommy Firman, kalah oleh kepentingan dan dinamika ekonomi. Banyak penggunaan lahan untuk perkantoran atau ruang terbuka hijau yang akhirnya berubah menjadi kawasan bisnis.
Pernyataan Dr. Ir Tommy Firman (sekarang sudah guru besar) yang penulis kutip di depan sangat relevan dengan keresahan dan pernyataan Imam Mardjuki (Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang) menanggapi disahkannya Perda Nomor 19 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang 2011-2030 Menurut Mardjuki setelah disahkannya RTRW Kota Semarang 2011-2030 tersebut hendaknya jangan ada lagi ijin-ijin pembangunan yang berseberangan dengan RTRW tersebut (SM, 3/6 /11).

Penyebab dan Solusinya
Melihat kecenderungan pelanggaran tata ruang di Kota Semarang, lalu timbul pertanyaan apa penyebabnya? Pertama, penulis setuju dengan pernyataan Dr. Ir Tommy Firman bahwa kebanyakan rencana tata ruang kota tidak disusun dengan mengakomodasikan kegiatan ekonomi masyarakat yang memang sangat dinamis. Kasus perubahan drastis kawasan Simpang Lima dari kawasan perkantoran, olahraga dan keagamaan menjadi kawasan bisnis karena kurangnya pemahaman bahwa lokasi di pusat kota sangat diinginkan oleh kegiatan ekonomi atau bisnis Hal tersebut terjadi karena penyusunan rencana kota kurang melibatkan para ahli ekonomi secara intens.
Sangsi

Sebab ketiga dari tidak ditaatinya RTRW Kota termasuk Kota Semarang adalah tiadanya sangsi hukum bagi yang melanggarnya. Tetapi itu dulu. Sekarang dengan Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang akan ada sangsi bagi siapapun (termasuk pemerintah) yang melanggar penggunaan lahan dan bangunan yang sudah ditetapkan di RTRW Kota. Ada 3 bentuk sangsi yaitu sangsi adiministrasi (termuat di Pasal 62 sampai 64), sangsi perdata (Pasal 66, 67, dan 75) dan sangsi pidana (Pasal 69 sampai 74).



http://nugroho-sbm.blogspot.co.id/2011/09/kepentingan-ekonomi-dan-pelanggaran.html
http://dokumen.tips/documents/kepentingan-ekonomi-dan-pelanggaran-tata-ruang.html
https://id.wikipedia.org/wiki/

RTRW Kota Sebagai Dasar Pembangunan



Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai landasan pembangunan dan pengembangan wilayah. Undang-Undang ini bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dalam rangka perwujudan ruang wilayah nasional tersebut, penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia meliputi aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Berdasarkan wilayah administratif masing-masing daerah, penataan ruang terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota. Penataan ruang tersebut dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Adapun wewenang penyelenggaraan penataan ruang diberikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggaraan penataan ruang kota merupakan wewenang pemerintah kota yang meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kota dan kawasan strategis kota; pelaksanaan penataan ruang wilayah kota; pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kota; dan kerja sama penataan ruang antar kabupaten kota. Data Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 93 Kota yang tersebar dari Sabang dari Merauke. Dari total jumlah kota tersebut, baru sekitar 35,5% kota yang sudah berhasil menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota yang telah sesuai dengan Undang-Undang Penataan Ruang yang terbaru.

RTRW Kota Depok

Rencana tata ruang

Berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, maka status Kota Depok berubah menjadi Kota hingga ditetapkannya Hari Jadi Kota Depok pada tanggal 27 April 1999.
Berdasarkan hal tersebut, dirasakan perlu disusun suatu Rencana Tata Ruang Kota yang strategis, guna mewujudkan perencanaan Kota yang terpadu dan terarah. Karena itu perlu dijabarkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok.
Perihal penyampaian Rancangan Perda Kota Depok tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2010, Maka perlu segera dibentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas dan membuat rancangan rencana tata ruang wilayah kota depok yang dituangkan dalam Peraturan Daerah. Peraturan Daerah dimaksud adalah Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 12 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2010.

 

Fungsi dan kedudukan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok berfungsi sebagai pedoman bagi pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam lingkup Kota Depok.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok atau sering disebut sebagai RTRW Kota Depok 2000-2010 disusun berazaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan serta mengandung nilai-nilai keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Kedudukan RTRW Kota Depok 2000-2010 di dalam tatanan pembangunan secara keseluruhan merupakan penjabaran dan strategi dari arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok serta RTRW Kota Depok disusun sebagai alat operasionalisasi dan merupakan acuan kebijaksanaan pelaksanaan pembangunan di wilayah Kota Depok, khususnya yang mengatur struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah.[3]
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok meliputi :
  1. Kebijakan, pendekatan, dan strategi pengembangan tata ruang untuk tercapainya tujuan pemanfaatan ruang yang berkualitas.
  2. Tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
  3. Struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok.
  4. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok

PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA

Sebagaimana maksud pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka, bahwa pembangunan yang membutuhkan sumber daya tidak terbatas dihadapkan pada ketersediaan sumber daya yang serba terbatas, dapat menimbulkan konflik pemanfaatan sumber daya seperti konflik pemanfaatan ruang dalam hal ini konflik penggunaan lahan sehingga penggunaan lahan harus dikendalikan (Budiharjo, 1993).




Banyak pihak berpendapat bahwa pemerintah harus campur tangan untuk mengendalikan, menata keadaan dengan alasan kegagalan mekanisme pasar menciptakan hasil yang memuaskan masyarakat secara keseluruhan, antara lain kegagalan menghasilkan hasil sosial yang diinginkan, munculnya eksternalitas negatif, dan ketidakmerataan pelayanan (Devas dan Rakodi, 1993:31). 

Pada kenyataannya banyak campur tangan pemerintah dalam pembangunan kota justru tidak tepat dan tidak memuaskan. Mattingly bahkan menyatakan secara tegas bahwa sebab utama kegagalan pengendalian pemanfaatan ruang adalah tidak didukung oleh kemauan politik dan dukungan masyarakat yang memadai (Devas dan Rakodi, 1993 : 113).

Sistem permintakatan (zoning) merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk menetapkan penggunaan lahan atau mengatur kegiatan yang diijinkan di atas sebidang lahan. Pada umumnya setiap mintakat disertai dengan batasan-batasan dan/atau persyaratan tertentu yang secara rinci diterapkan untuk setiap penggunaan bangunan yang akan didirikan di atas persil tertentu dalam mintakat tertentu (Branch, 1995).

Tujuan Pengendalian Lahan Kota (Smith, 1993)
Pengendalian pemanfaatan lahan sangat erat hubungannya dengan manajemen pertumbuhan (growth management). Tujuan/sasaran pengendalian penggunaan lahan adalah manajemen pertumbuhan yang dilaksanakan melalui empat perangkat/instrumen yaitu :

  1. Instrumen pengaturan (regulatory tools) seperti pemintakatan, perijinan lokasi, perijinan bangunan, 
  2. Instrumen kebijakan penempatan fasilitas pelayanan umum untuk mengarahkan pembangunan (public services location) seperti fasilitas infrastruktur; 
  3. Instrumen sumber-sumber pendapatan (revenue sources) seperti pajak ; 
  4. Instrumen pengeluaran/belanja langsung dan tidak langsung pemerintah (government expenditure) seperti pembelian lahan dan insentif pajak perumahan.

Manajemen pertumbuhan dikedepankan karena beberapa hal seperti: (1) permintakatan (zoning) kurang mampu dalam: membentuk pertumbuhan, mengendalikan penjadwalan/rentang waktu, menghadapi masalah pendanaan dan lingkungan; (2) kesulitan memenuhi sarana pelayanan dan infrastruktur yang telah menelan banyak biaya meskipun dengan menaikkan pajak; (3) terjadinya urban sprawl, polusi udara, hilangnya ruang-ruang terbuka dan persawahan, menyebabkan diberlakukannya aturan-aturan penatagunaan tanah seperti larangan aneksasi lahan, membuat garis batas wilayah perkotaan, daerah “sabuk hijau” (greenbelt area), dan perlindungan daerah pertanian (Deakin, 1989).


Daftar Pustaka:
Budihardjo, E. & Hardjohubojo, 1993, Kota Berwawasan Lingkungan, Alumni, Bandung
Branch, M.C., 1995, Perencanaan Kota Komprehensif, Pengantar dan Penjelasan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
Deakin, Elizabeth, 1989, Growth Control and Growth Management : A Summary and Review of Empirical Research, dalam Brower, David J., Godschalk, David R, Porter, Douglas R, (ed), Understanding Growth Control – Critical Issues and A Research Agenda, Washington D.C., The Urban Land Institute.