Prioritas nasional penyelenggaraan penataan ruang adalah pembinaan
pelaksanaan penataan ruang daerah dengan sasaran terpadunya RTR dengan
rencana pembangunan. Prioritas bidang penyelenggaraan penataan ruang
terbagi atas 4 (empat) fukus yaitu : Penyelesaian peraturan perundangan
sesuai dengan amanat UUPR Peningkatan kualitas produk rencana tata ruang
Sinkronisasi program pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang
Peningkatan kesesuaian pemanfaatan lahan dalam rencana tata ruang
Penutup Kebijakan dan strategi bidang penataan ruang yang digariskan di
dalam RPJMN 2010 – 2014 ditujukan untuk mengatasi beragam permasalahan
dan tantangan di bidang penataan ruang. Program dan kegiatan yang
menjadi prioritas pada tahun 2012 meliputi sinkronisasi rencana
pembangunan dan rencana tata ruang, penyelesaian peraturan perundangan
amanat UUPR, percepatan penyelesaian RTRW diberbagai tingkat
administrasi pemerintahan dan implementasi pengawasan penataan ruang.
Presiden Republik Indonesia dalam sambutannya pada
saat Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional baru-baru
ini di Surabaya menegaskan beberapa isu strategis dalam penyelenggaraan
penataan ruang nasional, yakni :
1. Terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan
hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya,
2. Belum
berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka
menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor
tadi,
3. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya
ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi
kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan,
4. Belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi
yang tegas dalam RTRWN,
5. Belum adanya keterbukaan dan keikhlasan
dalam menempatkan kepentingan sector dan wilayah dalam kerangka penataan
ruang, serta
6. Kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan
masingmasing secara berlebihan.
Senada dengan isu yang
dikemukakan Presiden RI, Menko Perekonomian pada forum yang sama menyebutkan
adanya 3 (tiga) isu utama dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yang
meliputi :
a.
Konflik
antar-sektor dan antar-wilayah,
b.
Degradasi
lingkungan akibat penyimpangan tata ruang, baik di darat, laut
dan udara, serta
c. Dukungan terhadap pengembangan
wilayah belum optimal, seperti diindikasikan
dari minimnya dukungan kebijakan sektor terhadap pengembangan kawasan-kawasan
strategis nasional dalam RTRWN seperti kawasan perbatasan negara, kawasan
andalan, dan KAPET.
Pada era otonomi
daerah, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan
untuk memenuhi tujuan
jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung
menjadi kawasan budidaya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah
praktek pembangunan yang kerap terjadi. Di Pulau Jawa misalnya, hutan
lindungnya telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 ha/tahun (BPS,2001). Bahkan
Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di
Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa 23% saja dari luas
daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk
penggunaan non-pertanian seperti untuk industri, permukiman dan jasa di Pulau
Jawa yang mencapai 1.002.005 ha atau 50.100 ha/tahun antara 1979 - 1999
(Deptan, 2001).
Contoh lainnya adalah
penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar yang signifikan. Hutan tropis, misalnya, sebagai kawasan resapan air telah
berkurang luasannya baik akibat kebakaran dan penjarahan/ penggundulan. Data
yang dihimpun dari The Georgetown International Environmental Law Review (1999)
menunjukkan bahwa antara tahun 1997 - 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di
Sumatra dan Kalimantan. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar,
yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada
periode yang sama. Dengan kerusakan hutan yang berfungsi lindung tersebut maka
akan menimbulkan run-off yang
besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada
jangka panjang, serta meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada kawasan
pesisir.
Selain itu kondisi satuan-satuan wilayah sungai di
Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dari keseluruhan 89
SWS yang ada di Indonesia, hingga tahun 1984 saja telah terdapat 22 SWS berada
dalam kondisi kritis. Pada tahun 1992, kondisi ini semakin meluas hingga
menjadi 39 SWS. Perkembangan yang buruk terus meluas hingga tahun 1998, dimana
59 SWS di Indonesia telah berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh
SWS di Pulau Jawa.4 (periksa Gambar 1 berikut). Seluruh SWS kritis tersebut
selain mendatangkan bencana banjir pada musim hujan, sebaliknya juga
menyebabkan kekeringan yang parah pada musim kemarau. Dari sisi ketahanan pangan, bilamana kecenderungan
negatif dalam pengelolaan SWS tersebut terus berlanjut, maka produktivitas
sentra-sentra pangan yang terletak di SWS-SWS potensial (seperti Citarum,
Saddang, Brantas, dsb) akan terancam pula.
http://sitr.jatimprov.go.id/beranda/artikel/detail/1
http://jembatan4.blogspot.co.id/2013/10/isu-strategis-penataan-ruang-di.html
https://kemalmenyimpang.wordpress.com/2015/11/28/kepentingan-ekonomi-dan-pelanggaran-tata-ruang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar