Rabu, 20 Januari 2016

Isu Pembangunan Daerah dan Kebijakan Penataan Ruang

Prioritas nasional penyelenggaraan penataan ruang adalah pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah dengan sasaran terpadunya RTR dengan rencana pembangunan. Prioritas bidang penyelenggaraan penataan ruang terbagi atas 4 (empat) fukus yaitu : Penyelesaian peraturan perundangan sesuai dengan amanat UUPR Peningkatan kualitas produk rencana tata ruang Sinkronisasi program pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang Peningkatan kesesuaian pemanfaatan lahan dalam rencana tata ruang Penutup Kebijakan dan strategi bidang penataan ruang yang digariskan di dalam RPJMN 2010 – 2014 ditujukan untuk mengatasi beragam permasalahan dan tantangan di bidang penataan ruang. Program dan kegiatan yang menjadi prioritas pada tahun 2012 meliputi sinkronisasi rencana pembangunan dan rencana tata ruang, penyelesaian peraturan perundangan amanat UUPR, percepatan penyelesaian RTRW diberbagai tingkat administrasi pemerintahan dan implementasi pengawasan penataan ruang.
 
Presiden Republik Indonesia dalam sambutannya pada saat Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional baru-baru ini di Surabaya menegaskan beberapa isu strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yakni :
1. Terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya,
2. Belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor tadi,
3. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan,
4.   Belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam RTRWN,
5.  Belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sector dan wilayah dalam kerangka penataan ruang, serta
6. Kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan masingmasing secara berlebihan.
Senada dengan isu yang dikemukakan Presiden RI, Menko Perekonomian pada forum yang sama menyebutkan adanya 3 (tiga) isu utama dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yang meliputi :
a.    Konflik antar-sektor dan antar-wilayah,
b.    Degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata ruang, baik di darat, laut dan udara, serta
c.   Dukungan terhadap pengembangan wilayah belum optimal, seperti diindikasikan dari minimnya dukungan kebijakan sektor terhadap pengembangan kawasan-kawasan strategis nasional dalam RTRWN seperti kawasan perbatasan negara, kawasan andalan, dan KAPET.
Pada era otonomi daerah, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah praktek pembangunan yang kerap terjadi. Di Pulau Jawa misalnya, hutan lindungnya telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 ha/tahun (BPS,2001). Bahkan Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa 23% saja dari luas daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian seperti untuk industri, permukiman dan jasa di Pulau Jawa yang mencapai 1.002.005 ha atau 50.100 ha/tahun antara 1979 - 1999 (Deptan, 2001).
Contoh lainnya adalah penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar yang signifikan. Hutan tropis, misalnya, sebagai kawasan resapan air telah berkurang luasannya baik akibat kebakaran dan penjarahan/ penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa antara tahun 1997 - 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Dengan kerusakan hutan yang berfungsi lindung tersebut maka akan menimbulkan run-off yang besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang, serta meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada kawasan pesisir.
Selain itu kondisi satuan-satuan wilayah sungai di Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dari keseluruhan 89 SWS yang ada di Indonesia, hingga tahun 1984 saja telah terdapat 22 SWS berada dalam kondisi kritis. Pada tahun 1992, kondisi ini semakin meluas hingga menjadi 39 SWS. Perkembangan yang buruk terus meluas hingga tahun 1998, dimana 59 SWS di Indonesia telah berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh SWS di Pulau Jawa.4 (periksa Gambar 1 berikut). Seluruh SWS kritis tersebut selain mendatangkan bencana banjir pada musim hujan, sebaliknya juga menyebabkan kekeringan yang parah pada musim kemarau. Dari sisi ketahanan pangan, bilamana kecenderungan negatif dalam pengelolaan SWS tersebut terus berlanjut, maka produktivitas sentra-sentra pangan yang terletak di SWS-SWS potensial (seperti Citarum, Saddang, Brantas, dsb) akan terancam pula.
 
http://sitr.jatimprov.go.id/beranda/artikel/detail/1 
http://jembatan4.blogspot.co.id/2013/10/isu-strategis-penataan-ruang-di.html
https://kemalmenyimpang.wordpress.com/2015/11/28/kepentingan-ekonomi-dan-pelanggaran-tata-ruang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar